konsep diri remaja putri

Remaja putri adalah sosok yang sedang berkembang baik dari segi fisik maupun seksual. Pada masa remaja, seorang remaja belum mempunyai tempat yang jelas dalam rangkaian proses perkembangannya. Perkembangan fisik dan seksual pada remaja merupakan hal yang sangat tidak dapat dipisahkan justru karena pemasakan seksualitas genital harus dipandang dalam hubungan dengan perkembangan fisik seluruhnya.
Bila ditinjau dari hubungan antara perkembangan psikososial dan perkembangan fisik, nampak bahwa perkembangan fisik memberikan impuls-impuls baru pada perkembangan psikososial. Sebaliknya, reaksi individu terhadap perkembangan fisik tergantung lagi dari pengaruh lingkungannya dan dari sifat pribadinya sendiri, yaitu interpretasi yang diberikan terhadap lingkungan itu. Perkembangan organ-organ genital (seksual) baik di dalam maupun di luar badan juga sangat menentukan dalam pola perilaku, sikap, dan kepribadian.
Tanda-tanda kelamin sekunder yang terdapat pada diri remaja putri itu adalah tanda-tanda jasmaniah yang tidak langsung berhubungan dengan persetubuhan dan proses reproduksi, namun merupakan tanda-tanda yang khas wanita. Tanda-tanda yang khas tersebut, menurut Sarwono (2000), ditandai oleh suatu peristiwa yang disebut dengan menarche (menstruasi untuk pertama kalinya). Selain itu, pada diri remaja putri akan terjadi perubahan ciri-ciri seksual sekunder seperti panggul yang besar, payudara yang mulai berkembang, dan suara yang merdu.
Hurlock (1994) menyatakan perkembangan seksual sekunder akan membedakan pria dari wanita. Perbedaan seksual sekunder pada masing-masing jenis kelamin, akan membuat ketertarikan jenis kelamin yang lain. Ciri ini tidak berhubungan dengan reproduksi meskipun secara tidak langsung ada hubungannya yaitu karena pria tertarik pada wanita dan begitu juga sebaliknya. Inilah sebabnya mengapa ciri ini disebut “sekunder” dibandingkan dengan organ-organ seks “primer” yang berhubungan langsung dengan reproduksi.
Dion dkk (dalam Hurlock, 1994) menerangkan alasan mengapa kepuasan terhadap perubahan fisik yang terjadi ketika tubuh anak beralih menjadi dewasa adalah sangat penting. Menurut mereka, penampilan seseorang beserta identitas seksualnya merupakan ciri pribadi yang paling jelas dan paling mudah dikenali oleh orang lain dalam interaksi sosial. Meskipun pakaian dan alat-alat kecantikan dapat digunakan untuk menyembunyikan bentuk-bentuk fisik yang tidak disukai remaja dan untuk menonjolkan bentuk fisik yang dianggap menarik, namun hal ini belum cukup menjamin adanya kateksis tubuh.
Perkembangan atau pertumbuhan anggota-anggota badan remaja, sebagaimana dikemukakan oleh Monks dkk. (1994), kadang-kadang lebih cepat daripada perkembangan badan. Oleh karena itu, untuk sementara waktu, seorang remaja mempunyai proporsi tubuh yang tidak seimbang. Hal ini akan menimbulkan kegusaran batin yang mendalam karena pada masa remaja ini, perhatian remaja sangat besar terhadap penampilan dirinya. Jadi remaja sendiri merupakan salah satu penilai yang penting terhadap badannya sendiri sebagai stimulus sosial. Bila sang remaja mengerti badannya telah memenuhi persyaratan, sebagaimana yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya, maka hal ini akan berakibat positif terhdap penilaian diri.
Penelitian Helmi (1995); Murdoko (1994) menunjukkan bahwa konsep diri sangat penting bagi keberhasilan individu dalam hubungan sosialnya, hal ini berarti bahwa dengan konsep diri yang positif individu akan berperilaku positif sehingga akan mendapat umpan balik yang positif dari lingkungan. Walgito (1993) menyatakan terbentuknya konsep diri akan mempengaruhi harga diri, dengan konsep dirinya remaja putri akan mengevaluasi pengalaman-pengalamannya yang berkaitan dengan penerimaan dan penghargaan orang lain terhadap dirinya.
Penerimaan Diri Pada Remaja
Karakterisitik utama remaja yang menerima dirinya adalah spontanitas dan tanggung jawab pada self-nya. Mereka menerima kualtias kemanusiaannya tanpa menyalahkan diri sendiri untuk kondisi-kondisi yang berada diluar kontrolnya (Allport, dalam Hjelle dan Ziegler, 1981:254). Mereka bebas dari kesalahan manusiawi dan tidak memandang dirinya sebagai seseorang yang harus marah atau takut atau menghidar dari konflik keinginan. Mereka meras memiliki hak untuk mempunyai ide, aspirasi dan keinginan sendiri. Mereka tidak menggerutu tentang kepuasan hidup. Seorang remaja yang dapat menerima dirinya sendiri akan dapat menyesuaikan dirinya sesuai dengan keinginannya.
Mappiare (1982) menambahkan bahwa remaja yang memiliki penerimaan diri (self-Acceptance) yang baik dalam menerima semua aspek dalam hidupnya termasuk setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, tanpa menimbulkan konflik internal, dapat mempengaruhi kesehatan psikologisnya, dan akan cenderung mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Demikian juga sebaliknya, remaja yang tidak memiliki penerimaan diri yang baik, akan cenderung menarik diri dari lingkungannya. Keadaan menarik diri atau rendahnya pemahaman akan keadaan yang dihadapi saat ini akan berpengaruh pada pembentukan pribadi yang sehat, citra diri yang positif dan rasa kepercayaan diri pada remaja dimasa yang akan datang.
Melalui pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri pada remaja merupakan pemahaman akan keadaan diri termasuk setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupnnya tanpa menimbulkan konflik internal yang dapat mempengaruhi kesehatan psikologis remaja, sehingga akan mampu beradaptasi dengan lingkungan.
      Penerimaan diri
      self acceptance atau penerimaan diri adalah suatu tingkat dimana individu yang telah mempertimbangkan ciri-ciri personalnya, dapat dan mampu hidup dengannya (Hurlock, 1979:434). Jerslid dalam Hurlock (1979:434) menjelaskan bahwa individu yang menerima dirinya, mempunyai penilaian yang realistik dan menghargai keberadaanya, memiliki kepastian mengenai standar dan pendiriannya tanpa menghiraukan opini orang lain, dan memiliki penilainan, batasan yang realisitk tanpa menyalahkan diri secara irasional. Individu yang menerima dirinya akan menyadari segala kemampuan yang dimilikinya dan dapat memanfaatkanya semaksimal mungkin, serta menyadari segala kekuragannya tanpa menyalahkan dirinya sendiri akan keterbatasan yang dimilikinya.
      Menurut Willey (dalam purwarman, 2003:35), penerimaan diri mengandung pengertian adanya persepsi terhadap diri sendiri mengenai kelebihan dan keterbatasannya untuk digunakan secara efektif. Penerimaan diri juga dapat meningkatkan penilaian diri, akan memberikan pemasukan pada dirinya sendiri dan bertanggung jawab terhadap perilakunya dan tidak menyalahkan orang lain apalagi mencela orang lain karena keadaan dirinya. Selain itu penerimaan diri dapat meningkatkan rasa toleransi terhadap orang lain dan penerimaan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Mereka melihat manusia, dunia dan dirinya seperti adanya. Seseorang yang memiliki penerimaan diri berarti dapat mengenali kekurangan sendiri dan berusaha memperbaiki diri.
      Penerimaan diri adalah perasaan mencintai dan bahagia terhadap keadaaan diri sendiri, bagaimanapun itu. Beberapa menyebutnya, self-esteem, yang lain menyebutnya self-love. Apapun sebutannya, penerimaan diri berarti kesepakatan antara individu dengan dirinya sendiri untuk menerima, menghargai, menghormati, dan memotivasi keadaan diri sendiri dalam keadaan apapun, dalam arti meskipun banyak perubahan yang terjadi pada diri individu (http://www.geocities.com/self-acceptance.html).
      Dari berbagai penjelasan mengenai penerimaan diri di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa penerimaan diri adalah perasaan mencintai, menghargai, menerima dan bersikap positif terhadap diri sendiri, mengenai kelebihan dan keterbatasannya, memiliki kepastian mengenai standar dan pendiriannya tanpa menghiraukan opini orang lain, dan memiliki penilainan, batasan yang realisitk tanpa menyalahkan diri secara irasional.

       Tanda-tanda penerimaan diri
      individu yang menerima dirinya memiliki penilaian realistik tentang kemampuan dirinya, ditambah dengan penghargaan pada kelebihannya, percaya pada diri sendiri tanpa diperbudak oleh orang lain dan ukuran keterbatasan yang realistik tanpa rasa malu yang irasional (Hall & Lindzey, 1985:294).
      Karakteristik utama dari penerimaan diri adalah spontanitas dan tanggung jawab pada self, menerima kualitas kemanusiaannya tanpa menyalahkan diri sendiri untuk kondisi yang berada di luar kontrolnya. Individu yang menerima dirnya, bebas dari kekeliruan manusiawi dan tidak memandang dirinya sebagai seseorang yang harus merasa marah atau takut atau menghindar dari konflik keinginan.
      Sedangkan karakterisitik umum dari individu yang menerima diri adalah mampu mengenali segala hal yang ada dalam dirinya, baik kelebihan maupun kekurangannya. Individu dengan penerimaan diri yang tinggi tidak peduli akan berapa banyak kelemahan tersebut sebagai sumber kekuatan untuk memaksimalkan kelebihannya (Hurlock, 1979:437)

      Kondisi-Kondisi Yang Mendukung Penerimaan Diri
      Menurut Hurlock (Hurlock, 1979:434-436), ada beberpa kondisi yang mendukung penerimaan diri individu, yang akan dijelaskan satu-persatu secara lebih terperinci dibawah ini:
a.       Memahami diri sendiri (Self Understanding)
Memahamo diri sendiri adalah persepsi tentang diri yang ditandai dengan kemurnian, bahkan kepura-puraan; realisme bukan ilusi;kejujuran, bukan penipuan; kebenaran bukan kebohongan; dan tidak saja mengenali fakta, tetapi juga menyadari pentingnya fakta itu.
b.      Pengharapan yang realisitk (Realisitc Expectation)
Suatu individu mengharapkan sesuatu yang realisitik, dia juga mengharapkan orang untuk mewujudkanya. Jika harapan itu terwujud, maka akan menambah kepuasan diri yang merupakan landasan dari penerimaan diri. Akan lebih mungkin apabila harapan tersebut dirumuskan sendiri tanpa adanya pengaruh dari orang lain, dan akan lebih baik lagi apabila individu juga mengetahui dan memahami kelebihan dan kekurangannya.
c.       Tidak ada hambatan lingkungan (absence of environmental obstacles)
Apabila individu tidak dapat mewujudkan apa yang diharapkan, hal ini bisa saja terjadi karena adanya hambatan dalam lingkungan dimana individu tidak memiliki kendali, seperti misalya adanya sanksi sosial dari masyarakat. Jika hal ini terjadi, individu yang mengetahui keadaan dirinya bisa saja akan mendapati bahwa sulit untuk menerima diri sendiri, jika hambatan ini dihilagkan dan ada dukungan dari orang sekitar untuk mencapai kesuksesan, individu akan merasa puas dengan apa yang dicapainya, dan dapat menerima dirinya.
d.      Sikap-sikap sosial yang menyenangkan (Favourable social attitudes)
Perilaku lingkungan membentuk sikap diri, maka apabila individu memperoleh dukungan dari lingkungan sosialnya, maka dia akan lebih mudah menerima diri. Hal ini juga harus dilandasi dengan pengharapan yang realistis dan pemahaman diri. Tiga kondisi yang menuntuk pada evaluasi sosial yang mendukung adalah :
§      Tidak adanya prasangka terhadap individu
§      Memiliki nilai-nilai social skill, khususnya memahami keadaan sosial
§      Kemauan untuk menerima adat dan kebiasaan kelompok
e.       Tidak adanya tekanan emosional (absence of emotional stress)
Tekanan emosional sekecil apapun dapat mengganggu keseimbangan individu. Adanya tekanan dapat menimbulkan pengaruh negatif pada perilaku individu. Sebaliknya, tidak adanya tekanan akan menimbulkan perasaan santai, rileks, dan bahagia, yang mendukung untuk menghasilkan penerimaan diri yang baik.
f.        Pengaruh kesuksesan (Preponderance of successes)
Kegagalan yang terjadi terus menerus akan membuat individu merasa kurang percaya diri dan tidak puas dengan keadaannya, sehingga cenderung menimbulkan adanya penolakan terhadap diri sendiri. Banyaknya kesuksesan yang dialami oleh individu akan lebih mendukung penerimaan diri, karena individu akan lebih mudah untuk merasa puas terhadap keadaan dirinya.
g.       Identifikasi terhadap orang yang mampu menyesuaikan diri (identification with well-adjusted people)
Menyamakan diri dengan orang lain yang mampu menyesuaikan diri dengan baik cenderung mengembangkan sikap yang positif terhadap kehidupan dan berperilaku mengarah pada penerimaan diri yang baik.
h.       Pandangan terhadap diri sendiri (self Perspective)
Individu yang dapat melihat kelebihan dan kekurangan dirinya secara obyektif seperti orang lain melihat dirinya memiliki pemahaman diri yang lebih baik. Perspektif diri yang baik akan memudahkan penerimaan diri.
i.         Pendidikan masa kecil yang baik (good childhood training)
Individu yang diasuh dengan pola sauh seimbang, tidak dominan, dan juga tidak pesimisif, memperoleh pendidikan yang baik dimasa kecil, dan tidak adanya pengalaman traumatis, akan lebih mudah untuk menerima diri.
j.        Konsep diri yang stabil (stable self consept)
Konsep diri yang stabil ada pada individu yang memandang dirinya dengan cara yang sama pada hampir setiap waktu. Individu akan lebih mudah menerima dirnya apabila konsep dirinya mendukung.

posted under |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Followers


Recent Comments